“Bunda aku kan lagi demam dan
batuk, jadi ga usah sekolah ya?” lain waktu,
“Bunda, aku kan lagi sariawan.
Jadi ga mau pergi sekolah..”
Awalnya rengekan-rengekan itu
hanya jadi selingan yang membuat saya geli, bisa banget ya..anak TK cari alesan
buat pergi sekolah. Tapi lama-lama, rasa geli saya berubah menjadi kekhwatiran
yang teramat sangat. Ngga bermaksud lebay, tapi betulan…ini hal yang
membingungkaan :’(
Lama-lama alasan-alasan yang pada
awalnya benar adanya, berubah menjadi alasan yang kadang nonsense banget. “Atuhlah
dang…sariawan mah bukan sakit serius. Nanti bunda kasih vitamin C lagi, dan dang
fathan bisa berangkat sekolah ya!” Terakhir, semua alasan itu sudah tak lagi ia
pakai. Saat ditanya kenapa tidak berangkat sekolah, jawabannya selalu
konsisten. “Bunda, aku bosan! Aku ga mau sekolah. Di sekolah mainannya dikit,
ga boleh bawa mainan juga..” Hff. Dan minggu ini agaknya sudah masuk hitungan 1
bulan, fathan tidak berangkat sekolah.
Acute School Refusal Behavior
Begitu katanya tentang kondisi
yang sedang dialami fathan, sebuah kondisi di mana sikap penolakan yang bisa
berlangsung 2 minggu hingga 1 tahun, dan selama itu anak mengalami masalah
setiap kali hendak berangkat sekolah. Awalnya alasannya nampak masuk akal, lama-lama
mulai ga masuk akal, dan setelah melakukan eksplorasi lebih dalam..ternyata
terungkap bahwa alasannya adalah : bosan.
Sebagai seorang ibu, menghadapi
anak yang mogok sekolah –meskipun masih TK Kecil, rasanya sungguh
membingungkan. Entahlah, meskipun katanya masih TK inih, tapi bagi saya
persoalannya tidak semudah itu. Bagaimana jika ia memang tak pernah mau lagi
sekolah? Ini menjadi hal yang menakutkan rasanya. Meskipun terkadang,
ah..sudahlah..orang-orang besar pun banyak yang ternyata tidak menempuh jalur
pendidikan formal. Tapi tapi tapi…ah, anggap saja saya belum siap menjadi anti
mainstream. Atau, jika tidak dikatan belum siap, anggap saja..saya belum
belajar bagaimana cara menghadapi kemungkinan anti mainstream bahwa ia tak akan
mau ke sekolah selama lama lama lamaaanya? Bagaimana jika? Bagaimana jika?
Berlebihan kah?
Saya tak tahu. Hanya saja, sulit
untuk tidak lepas memikirkannya. Saya sudah mencoba solusi lain, mendatangkan
pengajar yang hanya akan menemani fathan untuk bermain agar terpola permainan
yang dilakukannya. Baru dua kali, dan hanya sebentar saja untuk tiap sesinya.
Jadi, sulit bagi saya untuk mengatakan hal tersebut efektif atau tidak.
Terlebih, pengajar tersebut pun adalah
teman saya yang masih kuliah dan harus berbagi kesibukan dengan perkuliahan dan
pekerjaannya. Bisa dikatakan, belum ada hasilnya..
Solusi yang lain, teman saya
tersebut menawarkan pada saya untuk menyekolahkan fathan di tempat ia mengajar,
di TK lain. Saya kira ini bisa menjadi jalan solusi yang bisa ditempuh, tetapi
bagi ayahnya fathan, kasihan fathan kalau
harus menempuh jarak agak jauh –letak TK yang dimaksud cukup jauh dari
rumah. Ah, saya pun memaksa diri untuk kembali berpikir..apa setelah ini?
Menurut teman-teman di ruangan,
coba diikutkan di komunitas saja. Komunitas olahraga atau kesenian. Wow, ini
aha erlebnis bagi otak saya yang tengah tumpul karena terlalu melankolis
menghadapi ini semua. Terlalu menghayati hingga susah berpikir jernih dan
mencari solusi menyenangkan ^^ Fathan suka sekali bermain futsal, dan dia juga
suka sekali memanah dan belajar bela diri. Mungkin ini bisa menjadi solusi, who
knows?
Ya, oke..siang ini saya menemukan
sebuah ide, untuk mencoba membuat fathan belajar hal lain dari guru-gurunya
yang tersebar luas di muka bumi, untuk sekolahnya yang tak terbatas ruang dan
waktu..
Ah, Fathaaan..ayo kita belajar
naak!
Jakarta, 10 Maret 2015
Semoga Allah selalu melindungimu, nak..
Duuuh jadi ingat pernah sebangku dg anakku di TK selama sebulan karena doi nolak sekolah :)
ReplyDeletemaak, baru ngeh kalo ini mak lusi..
Deletemakasih ya mak udah mampir ^^